Halaman

Senin, 10 Januari 2011

Pendekatan konseling Behavioral


Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah konseling :
1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Teknik-teknik Konseling Behavioral
Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial

Pendekatan Konseling Rasional Emotif

A. Konsep Dasar
Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional
• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement

Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.

KONSELING ANAK

Konseling anak adalah proses yang terjadi antara anak dan seorang konselor yang membantu anak-anak untuk memahami apa yang telah terjadi kepada mereka. Tujuannya adalah untuk membantu anak-anak untuk sembuh dan kembali rasa percaya dirinya. Selama konseling, seorang anak didorong untuk dapat menyatakan perasaan mereka. Pemikiran dan perasaan yang tetap dan tak terungkapkan cenderung menjadi semakin akut dan dapat menimbulkan masalah jangka panjang (www.secasa.com.au).
Konseling anak menawarkan tempat yang aman untuk berbicara tentang hal-hal yang sulit. Anak-anak sering merasa sulit untuk berbicara dengan pada orang dewasa yang peduli mereka, padahal anak ingin dilindungi oleh orang dewasa. Mereka merasa sudah cukup dianggap bertanggung jawab untuk dewasa dari setiap hal yang dilakukannya. Konseling menawarkan kesempatan untuk melakukan kepercayaan internal dan perasaan eksternal dan karena itu lebih dapat diatur. Konseling dapat memberikan pengertian pada anak-anak bahwa hubungan itu adalah sangat berharga. Dalam konseling, mereka memiliki beberapa kekuasaan dan dapat membuat pilihan atas apa yang ia lakukan. Konseling anak juga dapat memberikan anak suatu hubungan dengan orang dewasa di mana mereka lebih dapat dipercaya.
Fungsi Bimbingan dan Konseling
Beberapa fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama).
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak).
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. (Engels, 2005)
Di dalam terapi ataupun konseling anak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Apa focus dari intervensi yang dilakukan? Apakah focus dari konseling akan melibatkan anak sebagai klien ataupun juga akan membangun kesepahaman pada orang tuanya juga.
  2. Apakah ada bukti untuk mendukung, seleksi dari pendekatan teraputi?. Apakah ada bukti yang didapat dari proses assesmen untuk mendukung, terapi ataupun menyarankan kepada terapis.
  3. Apa dampak terapi terhadap proses perkembangan anak ataupun pengaruh perkembangan terhadap proses terapi? Apakah terapi akan mempengaruhi perkembangannya, ataupun proses perkembangan dalam usia dan tahapan tertentu berpengaruh terhadap jenis dan atau proses terapi itu sendiri.
Kesehatan Mental Anak
Konseling pada anak di Negara maju biasanya dilakukan pada anak-anak yang mengalami masalah mental ataupun justru sudah mengarah ke gangguan mental. Biasanya ada dua masalah utama yang terjadi pada anak, biasanya adalah factor yang mempengaruhi eksternal anak missal perilaku agresif dan atau yang biasa terjadi di internal anak itu sendiri misalnya kecemasan.
Ada 4 pendekatan utama dalam konseling anak :
1. Komunitas
2. Family
3. Group
4. Individu
Anak dalam Terapi.
Biasanya terjadi dua eror yang mendasar yakni bahwa terbawa bahwa asumsi gangguan pada anak itu sama dengan orang dewasa sehingga si konselor terbawa dengan gaya orang dewasa. Dan bahwa masalah pada anak bisa diselesaikan dengan cara yang sama tanpa mengindahkan proses perkembangannya.
Untuk Konseling anak vital untuk diketahui konselor adalah, kapasitas self-reflection dari anak yang dipengaruhi proses kematangan juga secara biologis, pengalaman sosial baik dalam keluarga maupun lingkungan yang memberikan pengaruh cukup besar, dan juga kemampuan kognisi anak.
Intervensi secara kontekstual.
Psikoterapi secara individu pada anak memiliki sejarah yang panjang, dan apapun pendekatan teraputik yang actual, berbagi asumsi dasar yang tertuju sebagai sebuah kontak langsung dengan anak para terapis bisa menghasilkan pengalaman korektiv semacam catarsis, insight, pengkondisian kembali perilaku dll, dimana akan menghilangkan masalah pada anak. Walaupun, pertanyaan tentang efektivitas atau kebijaksanaan dari melihat anak dalam isolasi neningkat dari 1960 onawards. Shirk (1999) menyimpulkan bahwa pemikiran terkini menyatakan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan tetapi juga harus memperhatikan isu-isu konteks social, konteks keluarga biasa, dimana anak itu bertumbuh kembang.
KEEFEKTIFAN TERAPI ANAK-ANAK
Kebanyakan dari terapi-terapi psikologi dilaporkan dalam literature terapi anak-anak, tetapi kebanyakan digambarkan sangat buruk dan tidak di evaluasi secara spesifik. Kemudian dilakukan beberapa penelitian-penelitian untuk meneliti keefektifan dari treatment-treatment yang ada. Penelitian itu ditemukan fakta-fakta dari beberapa metodologi seperti :
1. sampel yang tidak spesifik
2. kemangkiran dari control kelompok
3. hanya menggunakan ukuran pemasukan umum
4. kegagalan memonitor integritas treatment
5. Kemangkiran dari follow up yang berarti
Pendekatan Perilaku dan Kognitif
Banyak penelitian secara empiris yang mengevaluasi metode dari keefektifan perilaku pada anak disbanding pendekatan klinik. Bagaimanapun hal yang utama dari pembelajaran tidak hanya pendekatan secara langsung dengan anak tetapi pekerjaan tiga serangkai. Maksudnya disini para terapi turut melibatkan orang tua dengan cara hanya memberikan saran kepada orang tua dan yang melakukan tindakan kepada anak adalah orang tua itu sendiri. Jadi tidak hanya terapi yang turun langsung untuk menangani anak tersebut. Contoh lain adalah dengan menggunakan teori modeling yaitu dengan menjadikan orang tua sebagai role model untuk merubah perilaku anak. Dimana pada saat masa kanak-kanak anak lebih sering mencontoh orang terdekat yaitu orang tua. Teori kognitif perilaku lebih menekankan pada perilaku.
Pendekatan Psikoterapi
Banyak aktivitas terapi menampilkan psikoterapi anak hanya untuk menjadi sebuah promosi. Disini lebih ditekankan kepada latihan-latihan dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu:
1. treatment dengan langsung dan tidak langsung
2. interpretasi dan dukungan
3. komunikasi verbal atau tidak langsung.
Rangkuman
Penutup ini dapat digambarkan dari bervariasinya meta-analisis dari keefektifan terapi anak.
1. Psikoterapi dalam beberapa bentuk adalah treatment yang lebih baik digunakan untuk banyak masalah dari masa kanak-kanak, meliputi penolakan sosial, agresi, kecemasan, dll
2. Perbedaan dari treatment-treatment untuk merawat pendekatan perilaku daripada pendekatan non perilaku.
Dengan terapi-terapi kecil kita bisa lebih menghargai superior gains.
1. Spesifikasi tehnik untuk berubah telah digunakan
2. Tujuan treatment lebih tegas dan terdefinisi
3. Lebih fokus kepada perilaku yang tampak
4. Lebih melihat kepada perilaku individu anak.
5. Terapi lebih berfokus pada masa sekarang bukan masa lampau
KARAKTERISTIK TERAPIS
Sering dikatakan bahwa karakteristik terapis berhubungan dengan terapis yang baik dalam melakukan parktek. Dalam penelitianya tentang hal ini, kolvin (1981) menemukan bahwa terapis yang berkepribadian ekstovert, asertif, dan terbuka sangat berhubungan dengan hasil treatmen yang positif. Namun terapis traditional yang mengandalkan empati, kehangatan dan keaslian malah dianggap tidak memberikan hasil treatment yang positif.
Meskipun begitu beberapa ahli berpendapat terapis yang efektif adalah sebagai berikut :
1. Terapis mendapatkan pelatihan formal tentang terapi.
2. Terapis memiliki kemampuan interpersonal yang fleksibel.
3. Terapis dapat memunculkan pengharapan yang positive pada terapi terhadap anak.
Karakteristik Anak
Setiap penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli psikologi dan setiap pakar klinis telah mengetahui bahwa tak ada satu pendekatan terapeutik yang efektif diterapkan pada anak. Pada umumnya mereka menggabungkan berbagai penekatan terapeutik yang ada. Selain itu, banyak juga factor-faktor lain yang mempengaruhi penanganan terhadap anak, seperti : karakteristik masalah, variable-variabel kontekstual. Selain itu karakteristik individual juga mempengaruhi seperti : gender, umur, dan kemampuan masing-masing anak.
Penelitian meta-analytic yang dilakukan oleh Blagg (1992) terhadap pendekatan psikodinamika dan pendekatan perilaku dalam mengatasi aksi mogok sekolah pada anak menunjukan bahwa terapi tersbut cocok digunakan untuk anak yang berusi antara &-10 tahun. Sedangkan untuk anak yang berusia 11-16 tahun hasil teratmen yang telah dilakukan dengan kedua pendekatan tersebut sangat tidak dapat diprediksikan.
Kesimpulan
Psikolog konseling dengan berbagai penelitian yang dilakukan, telah sepakat berpendapat bahwa tidak ada treatmen tertentu yang sangat superior dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Meskipun begitu, pertanggungjawaban psikolog konseling dalam praktek terapeutiknya harus ditingkatkan selalu. Psikolog konseling harus senantiasa memperbaharui apa yang ia ketahui sekarang. Bekerja pada area anak-anak berarti mengkombinasikan pengetahuan tentang perkembangan anak, penegetahuan tentang penelitian dalam area yang lebih spedifik seperti : perceraian orang tua, kematian / kehilangan orang tua dan pengetahuan tentang treatment yang efektif.
Perbedaan dalam Kapasitas Perkembangan
Psikologi perkembangan telah membuka cakrawala pengetahuan kita dan membantu memahami tentang kognitif dan perubahan social pada anak-anak. Namun psikolog konseling harus memperhatikan bahwa perkembangan setiap anak berbeda-beda dan sangatlah unik. Maka dari itu data normative hanya dapat digunakan sebagai point pembanding tiap anak. Dalam faktanya kita harus menghargai bahwa lingkungan anak dan pengalaman dapat meningkatkan atau bahkan menghambat kemampuan anak.
Sebagai contoh ialah : sebuah studi tentang dua anak yang sama-sama mejadi korban perceraian kedua orang tuanya. Dari studi tersebut diketahui bahwa anak yang sebelumnya pernah menjadi korban perceraian orang tua, dan sekarang menjadi korban untuk yang kedua kalinya, mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak dalam mengungkapkan istilah-istilah dalam perceraian. Sedangkan anak yang baru pertama kali menjadi korban perceraian orang tua ternyata hanya memnpunyai perbendaharaan kata yang sedikit bahkan dalam kasus tertentu tidak mempunyai perbendaharaan kata dalam istilah-istilah perceraian.
· Masa Kecil dan Masa kanak-kanak awal ( 0 - 4 tahun )
1. Mulai berperilaku dengan tujuan. Ex : mengulangi perilaku yang menyenangkan.
2. Telah mengerti tentang kepermanenan objek.
3. Dapat memecahkan problem yang sederhana.
4. Muncul perilaku Trial and Error.
· Masa awal sekolah ( 4 - 7 tahun )
1. Sudah memiliki kemampuan menggunakan symbol.
2. Belum mengerti tentang prinsip konservasi.
3. Jalan pikiran tidak dapat diubah ( Irreversible ).
· Masa Kanak-kanak Akhir ( 8 – 12 tahun )
1. Tidak banyak mengalami kesukaran dengan problem konservasi karena telah memiliki reversibility.
2. Mempunyai kemampuan berpikir secara logis, sehingga dapat menarik kesimpulan berdasar nalar, tidak hanya berdasar persepsi.
3. Berpikir secara logis tidak hanya pada objek yang nyata, namun pada objek yang bersifat hipotetik dan abstrak.
· Masa Dewasa
1. Mampu berfikir secara abstrak.
2. Mulai membangun konsep tentang “siapa dirinya”
3. Mulai memikirkan tentang peran dalam lingkungan social.
STATUS PERKEMBANGAN, KEMAMPUAN PERKEMBANGAN, DAN PILIHAN PENDEKATAN TERAPUTIK
Jika merunut pada perubahan kapasitas sosio cultural yang terjadi pada anak, hal tersebut menjelaskan pada kita bahwa metode dan pendekatan teraputik menimbulkan adanya perbedaan level tuntutan pada kemampuan perkembangan. Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk ditelaah kembali apa yang menjadi pendekatan teraputik utama serta juga seberapa jauh pengaruh yang mereka dapat sesuai dengan fase dari perkembangan selama anak-anak.
Anak yang masih sangat kecil belum mempunyai kapasitas untuk memasuki berbagai macam pendekatan teraputik yang berdasar pada refleksi diri serta evaluasi diri. Terlebih lagi, anak kecil belum mempunyai kapasitas perkembangan yang memadai untuk mempelajarai masalah “dunia” atau “mereka sendiri” yang disampaikan melalui bahasa verbal atau proses kognitif. Anak-anak pada fase ini belajar melalui proses pengulangan, aktifitas, proses pengalaman yang terjadi dalam konteks yang masih aman, serta proses menjalin relasi dengan orang lain.
Bentuk intervensi paing umum pada usia ini haruslah secara tidak langsung dan harus menyertakan elemen dari konseling perkembangan (yang menjelaskan tentang perilaku) dan nasihat pada respon orang tua terutama dalam hal perhatian pada anak. Dalam hal hubungan teraputik, haruslah ada dukungan dan afirmasi dari kompetensi dari orang tua.
Ada beberapa pendekatan atau metode memahami hubungan teraputik terhadap anak:
A. Metode behavioral
Hubungan ini diciptakan melalui aktivitas teraputik khusus yang dapat dikarakteristikan secar terstruktur, langsung berfokus pada masalah serta bersifat menentukan. Pendekatan ini tidak membutuhkan insight pada motif, kesadaran akan perasaan dan bahkan pemahaman akan rasionalisasi dari intervensi itu sendiri.
B. Metode cognitive-behavioral
Pendekatan kognitif behavioral ini terdiri dari beberapa tingkatan. Pada timgkatan yang paling sederhana, teknik yang digunakan adalah strategi pengendalian diri seperti instructional talking, penguatan diri, manajemen kognitif terhadapa kecemasan, dan yang masih tetap dibutuhkan adalah bahwa anak-anak telah mampu dan layak sesuai dengan perkembangannya untuk dapat melakukan monitoring diri.
Level yang lebih tinggi adalah taknik CBT (Cognitive behavioral therapy), contohnya adalah pendekatan pemecahan masalah secara interpersonal. Pendekatan ini mulai dapat diaplikasikan ketika anak sudah menginjak usia perkembangan 8-12 tahun. Pada usia tersebut anak biasanya sudah mulai melakukan perhitungan/pertimbangan terhadap perspektif atau pendapat orang lain.
C. Metode Psikoteraputik
Pendekatan ini menekankan pada perubahan yang terjadi pada anak-anak melalui penmgalaman hubungan teraputik itu sendiri, juga dapat melalui penggunaan proses saling koreksi, pengalaman emosional, melalui interpretasi dan perkembangan yang meningkat seiring dengan peningkatan insight personal dan kesadaran diri.
Pada usia di bawah 7 tahun, anak-anak cenderung tidak suka untuk secara sering bertemu dengan terapis. Padahal hubungan berkenaan dengan proses konseling ini setidaknya membutuhkan waktu sekali dalam seminggu untuk membangun sebuah hubungan yang dapat berlangsung secara lama.
Dari beberapa pendekatan di atas, ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa ketika kita menggunakan metode kognitif behavioral hal tersebut sangatlah didukung akan tetapi model tersebut sering terlihat tidak sesuai dengan penampilan anak. Anak sering merasa bingung, mungkin dalam penolakan, dan mungkin akan tidak yakin bagaimana perubahan besar dalam dirinya akan berpengaruh terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah konselor harus menggunakan konstruk teori mengenai konsep diri dan menggunakannya sebagai alat untuk membuka pembicaraan agar anak timbul rasa percaya dan yakin bahwa kognitif behavior dapat diaplikasikan dengan kemungkinan berhasil yang tinggi.
KESIMPULAN
Proses terapi pada anak-anak dibatasi oleh kemampuan perkembangan anak untuk dapat turut berpartisipasi. Selain itu, semua terapi anak-anak membutuhkan dan bergantung pada transmisi dan penerimaan makna antar partisipan. Serupa dengan hal itu, semua terapi membutuhkan dan bergantung pada kemunculan sebuah “hubungan” dengan anak-anak yang akan mendukung proses terapi itu sendiri.
Jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak akan :
· Lebih suka dibatasi hanya pada masa sekarang, terutama dalam pandangan mereka terhadap dirinya dan situasi yang mereka alami
· Lebih suka menampilkam kesulitan berperilaku mereka secara simbolik
· Kurang begitu mampu untuk merefleksikan diri, dan lebih berorientasi pada aktivitas dan belajar melalui pengalaman.
Beberapa langkah yang bisa diambil pada proses terapi adalah konseling harus mengevaluasi focus utama dari intervensi yang paling bermanfaat. Yang kedua adalah dengan memeriksa materi pendukung seperti hasil penelitian, teori-teori tertentu yang sesuai dan mendukung proses intervensi. Ketiga adalah harus memperhitungkan adanya proses perkembangan pada anaka-anak dan maknanya pada proses terapi yang digunakan. Terakhir adalah proses terapi harus lebih mempertimbangkan respon yang muncul secara aktual pada anak-anak daripada yang ada dalam teori atau hasil penelitian tadi.

Sabtu, 08 Januari 2011

Orang Tua Bercerai, Siapkah Mental Anak ?


“Ibu, kenapa kita sekarang tinggal bersama kakek dan nenek? Ayah tinggal di mana, ma? Kasihan ya ayah tinggal sendirian, nggak sama kita lagi. Ayah pasti kesepian deh. Yuk kita tinggal bareng ayah lagi, adik kangen sama ayah.” Mendengar pernyataan ini, tentulah orang sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian. Angka perceraian di Indonesia termasuk meninggi kian waktu. Banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis Indonesia akhir-akhir ini. Apa sesungguhnya dampak perceraian terhadap mental anak?
PERCERAIAN pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup.
Umumnya, orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
Tidak demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja ayah tidak lagi pulang ke rumah, atau ibu pergi dari rumah, atau tiba-tiba bersama ibu atau ayah pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Atau mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar “rapi” menutupi ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut.
Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.
Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan orangtua (ayah dan ibu) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka? Artinya, bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian?
·      Masa Kritis
Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Karenanya, sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.
Lalu, bagaimana halnya jika akhirnya berpisah? Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
Perasaan-perasaan itu, oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya. Tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa, menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.
Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri, serta menjadi dirinya sendiri lagi.
·      Sikap Orangtua
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak. Namun, sebagai orangtua, mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya.
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (sikap) orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan, adalah sbb.;
1.        Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama mama dan papa, tapi hanya dengan salah satunya.
2.        Sebelum berpisah, ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
3.        Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya, tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
4.        Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
5.        Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak.
6.        Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara berkunjung, menelepon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya.
7.        Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.
8.        Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
9.        Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan diinginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.
10.    Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.
11.    Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar-kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
12.    Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.
13.    Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.
14.    Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponslah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan “anak kecil mau tahu saja urusan ayah-ibu”.
·      Tidak Mudah
Dari saran-saran tersebut terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran itu memang tidak mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu sama lain. sKeinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir, “Anak saya baik-baik saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada ibunya/ayahnya. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga rajin”. Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak?
Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya.
Bagi Anda yang akan, sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan anak-anak yang tidak berdosa menjadi terlantar.